Rabu, 17 Januari 2018

Bertemu Dinosaurus - Museum Geologi Bandung

Apa yang paling menyenangkan buat anak-anak? Salah satunya, saat apa yang biasa mereka lihat dalam buku cerita dan televisi nyata di hadapan mereka. Bisa lokasinya, tokohnya, animasi, kartun, dan lain-lain.

Setidaknya itu yang bisa aku tangkap dari duo krucilku, satu balita dan satu batita. Keduanya heboh saat melihat bus di jalan, efek menonton kartun Tayo, Little Friendly Little Bus dan sering diputarkan lagu anak The Wheels On The Bus. Saat berkesempatan ke hutan, mereka tak kalah excited, sebab sudah mempunyai gambaran hutan lewat kartun Detektif Peet , pemecah kasus di hutan. Mereka akan mulai menunjuk pohon, hewan seperti biasa dilihat dan berkata, "Sama... sama... ya, Ibu."  

Begitu pula  takjub saat melihat langsung dinosaurus yang biasa dilihat gambarnya dalam buku, iklan, kemasan snack, dan film seperti Jurassic Park dan The Minion. Dinosaurus hidup? Ya, enggaklah. Kan hidupnya 140 juta tahun yang lalu di zaman mesozoikum (zaman sekunder). 



Di Bandung, kita bisa menemukan replika Tyrannosaurus Rex kadal yang kejam di Museum Geologi. Rangka-rangka yang disusun menyerupai bentuk aslinya. Tinggi dan besar untuk  ukuran makhluk sekarang tapi tidak di zamannya.


Museum membosankan? Tergantung sih ya. Tapi kalau ke sini sepertinya tidak. Pajangan dan informasinya terpampang jelas. Kita bisa mempelajari dan memahaminya. Audio visualnya oke. Sehingga atraktif dan tidak monoton. 

Tips 1: datang dengan teman yang sehobi atau berminat di bidang geologi sehingga bisa saling sharing, talk, dan diskusi selama menikmati atraksi di museum.


Pas sebagai wisata edukasi untuk anak tapi tetap harus didampingi. Kalau tidak ya mereka cuma lari kesana sini. Kita capek mengejar polahnya. Sebagai ibu, aku pun mencoba mengenalkan tentang kebumian ini ya tentunya dengan bahasa yang mudah dipahami, sederhana, dan tidak usah detail terlebih dahulu. Karena si Namiya, lagi masa eksplorasi kok jadi malah aku yang kewalahan menjawab. 


Museum Geologi dibangun tahun 1928 dirancang oleh ir Menalda van Schouvburg, seorang Belanda. Awalnya merupakan tempat menyimpan hasil penelitian geologi dengan nama Geologisch Laboratorium. Setelah mengalami pasang surut, museum direnovasi kembali dengan bantuan Jepang. Museum bergaya Art Deco ini diresmikan tahun 2000 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri.

Museum memiliki dua lantai. Lantai pertama, ruang sebelah kiri adalah Ruang Geologi Indonesia. Begitu masuk, kamu disambut video tentang planet dalam sistem tata surya. Wah, seru sekali. Ada juga penampang bola dunia yang diiris sehingga pengunjung bisa mengetahui isi perut bumi. Di dalam sini berisi peraga tentang asal mula dan pergerakan bumi. Peta geologi Indonesia dan gambaran pantai yang mewakili proses geologi di Indonesia.



Setelah dari situ balik lagi dan menyeberang masuk ke pintu sebelah kanan kalau dari entrance. Ruangan ini yang berisi fosil makhluk purba dan merupakan Ruang Sejarah Kehidupan. Bagi pecinta sejarah terbentuknya Bandung, kamu bakalan paham dengan cekungan Bandung lewat alat peraga di sini. 

Waktu di situ kami mendengar speaker ada pemutaran film di lantai yang sama. Cuma pas diajak nonton film di auditorium belum juga 5 menit, Namiya minta keluar dan Oziel mulai merengek karena gelap mungkin ya. Padahal ibunya masih penasaran. Ya sudahlah mengalah. Auditorium ini ada di pojok belakang.


Akhirnya kami naik ke lantai dua. Sebelah kiri gambaran manusia purba, simulasi gempa, dan gambaran gunung meletus. Bahkan benda-benda saksi erupsi merapi 2010 tersimpan di sini. Antara ruang ini dan sebelahnya terdapat selasar atau ruang kosong. Bisa beristirahat karena disediakan tempat duduk. Di bagian ini juga terdapat maket tambang emas dan pengeboran minyak bumi.


Masuk ke ruang selanjutnya banyak display beraneka jenis batuan hingga proses hidrologi seperti terbentuknya hujan.



Fakta: Kalau biasanya obyek wisata menambah waktu saat weekend di Museum Geologi justru dipersingkat. Sabtu Minggu buka jam 08.00 sampai pukul 14.00 WIB. Jum'at LIBUR. Senin - Kamis buka dari jam 08.00-16.00 WIB

Nah, puas-puasin ya di dalam museum karena kita bisa belajar banyak hal. Makanya museum ini menjadi tujuan study tour anak sekolah dari berbagai kota. Kalau sudah cukup, sebelum pintu keluar ada ruang foto 3 dimensi. Jadi kita berasa di zaman jurrasic  begitu tapi sayang Namiya tidak mau malah kabur ke souvenir shop di sebelahnya. Jangan lupa beli cinderamata sebagai tanda kamu pernah ke sini ya :)


Tips 2: memulai rute jelajah museum dari Ruang Sejarah Kehidupan (sebelah kiri entrance) lalu ke auditorium. Lanjut naik ke lantai 2, masuk pintu sebelah kiri keluar dari pintu yang lain. Bisa duduk dahulu, sebelum masuk ruang display batuan dan keluar dari pintu yang lain. Melihat maket pertambangan. Turun tangga masuk Ruang Geologi Indonesia (sebelah kanan entrance) langsung keluar melalui ruang foto dan toko souvenir. Jangan seperti kami jadi bolak balik.


Mau Ke sini
Gampang banget, dekat dengan Gedung Sate, Kantor Gubernur Jawa Barat. Biasanya banyak bus-bus besar rombongan study tour dari luar kota. HTM Rp 3000,00

Alamatnya: Jl. Diponegoro No 57. Kalau dari arah Gedung Sate letaknya di sisi jalan sebelah kiri. Lokasinya yang strategis, membuat akses angkutan umum sangat mudah ke sini. Fasilitas penunjang seperti toilet dan tempat parkir bagus. Bahkan ada fasilitas medis.


 https://www.google.co.id/maps/place/Bandung+Geological+Museum/@-6.9044203,107.6170542,16z/data=!4m5!3m4!1s0x2e68e64ccaafebbd:0x9e53739bff7334f6!8m2!3d-6.9007084!4d107.6214906



*foto-foto dokumen pribadi, sayang foto yang kualitas bagus entah nyelip dimana atau malah tak sengaja kehapus

Minggu, 07 Januari 2018

Menyisir Jejak Kesuburan – Candi Barong

Holiday season... Saatnya pulang ke kampung halaman. Selain melepas rindu dengan sanak saudara, moment ini berarti kami akan melakukan perjalanan. Menyambangi surga-surga tersembunyi di daerah.

Alangkah beruntungnya aku memiliki tanah kelahiran Klaten. Kabupaten yang diapit dua kota tujuan wisata, Yogyakarta dan Solo. Kota yang seakan tiada habisnya akan kekayaan wisatanya baik alam, budaya maupun atraksi buatan manusia.

Hari itu, kami ingin mencari tempat wisata yang dekat dari rumah. Rencananya kami ingin mengejar sunset di Candi Ijo. Namun, berhubung waktu semakin sore atas rekomendasi dari bapak pemilik warung di pinggir jalan, kami singgah di Candi Barong.

Candi Barong ini padahal lokasinya tak terlalu jauh dari Candi Prambanan, tapi sebagai penduduk lokal aku malah baru mengetahuinya termasuk mendengar namanya. *kemana aja ya :D

Candi Perlambang Kesuburan


Candi Hindu ini menghadap ke arah terbenamnya matahari. Diperkirakan dibangun antara abad 8 dan 9 dengan nama awalnya Candi Suragedug. Pemandangannya ladang dan bukit yang tandus. Pemukiman penduduk pun jarang di sini. Waktu kami menyusuri jalanan rasanya kami malah mau masuk ke hutan yang didominasi tanaman jati yang meranggas. Lahan jati kerap diidentikkan dengan tanah yang berbatu sehingga kurang cocok untuk pertanian.

Konon, kondisi geografis ini yang mendasari pembangunan candi. Sebuah candi yang digunakan untuk pemujaan memohon kesuburan pada Dewa Wishnu dan Dewi Laksmi. Keduanya merupakan pasangan, Dewa Wishnu merupakan pemelihara dan Dewi Sri adalah simbol kesuburan itu sendiri. Karenanya, Candi Barong merupakan perlambang kesuburan. Terkait nama Barong diambil dari arca barong atau kala yang ada di sekeliling candi. Barong dipercaya perwujudan singa atau beruang. Bakhruang/baruang dalam Bahasa Kawi yang merupakan simbol kebaikan atau kemenangan.
Fakta: Bernama awal Candi Suragedug, tapi karena banyak hiasan barong disekeliling candi membuat lebih tenar dengan Candi Barong.


Kalau aku tafsirkan sederhana, kondisi tanah yang sulit ditanami, gersang, berbatu, dan sulit air sebagai ciri kawasan karst menyebabkan masyarakat hidup susah. Untuk mengatasi kehidupan tersebut penduduk membangun candi untuk memohon kepada Yang Kuasa agar dikarunia tanah yang subur. Kesuburan tanah membuat masyarakat bisa merasakan hasil panen dan hidup sejahtera yang berarti kemenangan. Agar kesuburan dan kemenangan senantiasa terjaga maka mereka memohon kepada sang dewa pemelihara. Tentu saja antropolog lebih mengetahui detailnya.


Bertandang ke sini artinya kita belajar sejarah budaya dengan bersentuhan langsung. Kadang belajar sejarah budaya melalui buku bersifat monoton dan membosankan. Ke situs aslinya semua lebih nyantol dan have fun. Kalau kita happy bukankah lebih banyak yang bisa kita serap? Apalagi anak-anak. Di masa golden age atau balita, kaadang sebagian orang tua beranggapan ngapain mengajak mereka ke tempat “aneh-aneh” toh mereka belum mengerti. Eitsss... jangan salah ya, justru di umur inilah mereka mulai mengeksplorasi alam di sekitar yang mereka lihat. Makanya, aku pun tak segan mengajak mereka ke manapun. Karena setiap tempat baik alam, situs, buatan, event merupakan sarana pembelajaran bagi anak. Apalagi tantangan era saat ini lebih “wow” kan, kita sebagai orang tua juga harus dituntut “lebih”.

Sunset Instgramable


Ini bonusnya.
Kompleks candi di Bukit Batur Agung tidak terlalu luas. Untuk sampai ke candi utama harus berjalan kaki terlebih dahulu melewati taman dan pelataran lalu naik tangga. Dan lihatlah mentari yang akan ke peraduan itu. Cantik sekali bukan. "Seperti di film-film!" kataku pada suami yang mengabadikan lewat bidikannya.

Terlalu susah mendeskripsikannya dengan kata-kata. Saking indahnya, mata terpaku, geming menyaksikan surya perlahan meninggalkan pohon jati yang disinarinya.  Cahaya keemasan pun mulai menimpa bangunan candi yang reruntuhannya ditemukan tahun 1913 oleh orang Belanda. Nun kejauhan di sisi utara, Merapi pun tak kalah gagahnya. Pesona yang tiada tara.


Sunset atau sunrise menjadi fenomena alam yang mungkin paling dicari traveler atau pemburu fotografi. Bintang terdekat dengan bumi ini selalu menarik.  Walau malam berganti pagi dan siang berganti malam setiap hari, tapi matahari selalu mempunyai sisi berbeda di mana ia dipandang.

Dari puncak-puncak gunung kita rela menembus dinginnya pagi-pagi buta untuk sunrise tercantik. Di tepi-tepi pantai, diiringi deburan ombak kita menanti matahari tenggelam di batas cakrawala. Tentunya dengan faktor keberuntungan juga sebab kadang cuaca tak bersahabat atau awan yang menghalangi sang primadona fotografer.

Kalau tidak ada waktu ke Parangtritis, Candi Barong yang terletak di atas salah satu bukit pegunungan kidul ini bisa menjadi alternatif pecinta sunset.

Kompleks ini masih relatif sepi pengunjung, mungkin karena letaknya yang di atas bukit. Tersembunyi atau mblusuk menembus pepohonan jati di kiri kanan jalan. Tanpa penunjuk arah mungkin tak akan ada yang mengira terdapat candi di lokasi seperti ini.

Tak jauh dari lokasi ini terdapat reruntuhan candi yang katanya akan segera dibangun. Oh iya, dari sini kita bisa melihat tebing breksi yang sedang tenar dengan sunset-nya itu juga lho.

Tips: Berkunjung menjelang senja (bagian akhir perjalanan setelah mengunjungi destinasi lain). Kalau siang hari sebaiknya bawa topi atau payung untuk melindungi dari sengatan matahari. Lebih baik bawa air minum atau cemilan/bekal, warung jauh.





Mau Ke sini?

Tertarik ke sini, jalannya sudah beraspal. Baiknya memakai kendaraan pribadi. Bawa bekal asyik juga karena terdapat beberapa pendopo untuk kita beristirahat. HTM-nya sangat terjangkau hanya 2.000 rupiah saja.

Kalau dari arah Solo belok kiri di gapura perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tinggal ikuti saja jalan tersebut sampai menanjak bukit. Setelah sampai di Abhyagiri kurang lebih satu kilometer di sebelah kanan jalan merupakan lokasi Candi Barong. Tepatnya di Dukuh Candisari, Sambirejo, Prambanan, Sleman Yogyakarta.




Yuk, abadikan sunset versi kamu dan bagikan kisah perjalanan kamu juga ya 
J

*Foto-foto dokumen pribadi @chidarma

Jumat, 05 Januari 2018

Goresan Raja Thailand yang Tersembunyi – Curug Dago

Nama Curug Dago mungkin tak sefamiliar dengan Dago itu sendiri. Dago merupakan salah satu image kota Bandung. Tak lengkap rasanya kalau ke Parits van Java tapi tak ke Dago. Outlet-outlet distro kelas atas, car free day setiap ahad menarik pelancong untuk bercengkerama lebih dekat dengan kota ini. Jalan Dago (Ir. H Djuanda) pun tak jauh dari pusat pemerintahan Jawa Barat, Gedung Sate.

Bagaimana dengan Curug Dago? Waktu suami pertama kali membicarakan Curug Dago, aku yang bukan asli Bandung, setengah sangsi.

“Masa ada air terjun di Dago,” kataku.
“Belum tahu, dia” jawab suamiku enteng.

Kalau aku bilang, Curug Dago sangat tersembunyi. Untuk ke sini dibutuhkan mata jeli. Jalan masuknya merupakan cor yang hanya cukup sisipan dua motor. Itupun terkadang salah satu sepeda motor harus mengalah. Batas jalan sebelah kiri pagar, sebelah kanan lahan yang cukup dalam sekitar dua meter. Kalau  terjatuh, lumayan banget kan. Pun begitu setelah belok, kalau tak awas bisa-bisa kita kebablasan ke kampung yang ada di atasnya. 

Plang-plang penunjuk lebih menonjolkan situs atau cagar budaya dibanding curug itu sendiri. Itulah, kalau tak mau bertanya, mungkin kita akan kepayahan menemukan curug atau air terjun ini.



Situs Apa Curug?
Aku sendiri justru lebih penasaran dengan situsnya. Kalau diingat-ingat dalam sejarah, di Bandung sepertinya tak ada kerajaan. Lalu situs apa ini?
“Sudah lihat situsnya?” tanya suami. Karena Namiya tidak mau turun dan asyik bermain, jadilah saya dan Oziel turun berdua.
“Yang di dalam rumah merah ya,”
“Iya, kemarin pas Raja Thailand mangkat ditaruh bendera di situ.”

Pantas saja tadi ada bendera Thailand di situ. Aku pikir ada turis dari Thailand dan sengaja meletakkan bendera di atas batu. Ternyata goresan atau coretan di batu yang dinaungi rumah sederhana bercat merah itulah situs Curug Dago. Peninggalan Raja Thailand Chulalongkom II (Rama V) yang sempat mampir ke Bandung abad ke 18. Ditulis dalam Huruf Siam sekitar tahun 1896, kemudian diikuti kunjungan kedua pada tahun 1901. Dikutip dari wisatalova.com, prasasti ini bertuliskan paraf dan tahun Rattanakosin, Era 120 (Bangkok). Pada batu yang lain terdapat ukiran nama Raja Prajadipok atau Raja Rama VII yang berkunjung tahun 1929.

Konon, di Thailand, seorang raja akan menuliskan namanya di batu ketika tengah bersemedi. Lokasi curug ini memang tersembunyi dan bahkan dikenal angker karena kesenyapannya. Aku pun tak berani lama-lama di bawah apalagi hanya dengan si kecil.


image: wisatalova.com 

Air terjunnya sendiri memiliki ketinggian 12 meter terjun bebas dari aliran Sungai Cikapundung yang nantinya membelah Kota Bandung dan menjadi salah satu anak Sungai Citarum. Ciri khas kawasan curug adalah alamnya yang masih asri di ketinggian 800 mdpl. Pepohonan hutan yang masih mendominasi dan jauh dari hiruk pikuk kota. Waktu aku datang, airnya keruh kecoklatan padahal tidak hujan. Aliran sungainya juga terdapat sampah. Katanya sih sudah terjadi kerusakan lingkungan di bagian hulu. Sayang sekali ya, padahal alam sebagai anugerah Tuhan untuk bumi Indonesia sudah sepatutnya untuk kita jaga dan lestarikan.


Curug Dago juga merupakan bagian dari Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ir. H. Djuanda. Untuk mencapai lokasi ini, lebih banyak yang trekking via Tahura daripada langsung ke Curug Dago. Destinasi ini pun tak terlalu ramai meski kami datang pas liburan. Malah banyak anak-anak kampung di sekitar curug yang bermain di sini. Karena akses ke tempat bermain memang gampang dan tak berpagar layaknya masuk objek wisata. Lokasi bermain dan untuk ke curug juga persis di tepi gang masuk kampung.

Fakta: Kesan angker berasal dari lokasi yang terpencil dan senyap sekaligus tersembunyi. Berada di tepi sungai dan masuk hutan.

Untuk ke air terjun harus masuk hutan dan melalu jalur berundak. Sayangnya, undakannya terlalu tinggi untuk melangkah. Jadi cukup ngos-ngosan waktu naik karena harus mengangkat tinggi-tinggi. Tak perlu khawatir, meski begitu undakan sampai lokasi sudah dari semen asal hati-hati tak akan kepleset. Tapi pas sudah sampai di atas bingung mau duduk dan beristirahat dimana. Pilihannya ada di teras di pinggir area bermain anak. Itupun kotor dan agak lembab jadi harus dibersihkan dahulu dan dialasi kembali dengan tisu bekal dari rumah. Nguing... nguinggg... nyamuk akan menemani kita :D

Fasilitas standar seperti toilet sudah ada kok. Kalau lapar habis terkuras energinya mengunjungi curug, ada warung makan milik penduduk di sini. Sederhana dan menunya memang lokal seperti karedok, gado-gado, dan lotek. Tersedia juga menu andalan mie instan dan baso. Saat beristirahat di warung ini pun tak ramai justru yang mampir makan adalah warga sekitar yang pulang dari berladang. Uniknya di dalam sebelah pojok warung, pemiliknya membakar kayu tapi hanya asap yang keluar untuk mengusir nyamuk.

So, liburan kali ini bagi Namiya sangat menyenangkan sampai tidak mau pulang karena diajak pemiliknya melihat ikan di balong belakang warung. Dia mempunyai banyak teman baru, dari yang seumuran, cucu pemilik balong, maupun para remaja yang tadi bermain bersama di area bermain. Liburan, bagi kami orang tuanya mungkin lebih sekedar refreshing dari rutinitas ibu rumah tangga seperti saya atau melepas beban kerja bagi suami. Nah, musim liburan bagi anak-anak artinya “main” dan mereka bisa mengeksplorasi lebih banyak tentang alam. 

Pelajaran sehari di Curug Dago adalah lebih dekat dengan alam dan bersosialisasi dengan orang lain. Tapi, ngomong-ngomong mencari teman baru, anak-anak lebih gampang mendapat teman daripada kita lho. Mereka saling melihat, bermain di wahana yang sama, tahu-tahu sudah main bareng. Sebagai ibu, kita harus tanggap, tidak hanya membiarkan main bersama.
“Sudah kenalan, belum? Namanya siapa? Kakak cantik ya, dan bla bla bla....”
Bagaimana ibunya memulai pembicaraan, tersenyum terhadap orang yang tidak dikenal, anak-anak melihat itu, dan pasti merekam dalam memori dalam golden age mereka. Kalau melalui buku, anak-anak termasuk kita belajar dari pengalaman orang lain. Di sini kita belajar dari pengalaman sendiri. Seru sekali kan ya.

Tips: Siapkan fisik dan sediakan lotion anti nyamuk. Boleh juga kalau mau alas duduk seperti tikar atau koran bekas.





Kalau Mau Ke Sini?
Alternatifnya, bisa trekking via Tahura, masuknya dari Tahura Ir. H. Djuanda (Dago), parkir kendaraan roda empat lebih nyaman. Atau langsung ke sini. Dari Terminal Dago, belok kiri (ke bawah) kalau ke atas ke Tahura. Pelan-pelan saja, pas turunan tajam lihat ke kiri ada plang Situs Curug Dago kecil. Ikuti jalan kecil yang saya ceritakan di atas sampai pertigaan belok ke kanan (turun ke bawah). Kalau membawa motor bisa dititip disamping loket. Kalau nyali oke, bisa sampai bawah kok. Lokasi masuk Curug Dago di sebelah kiri persis sebelum jembatan ya.

Alamatnya: Jl. Dago Pojok, Dago, Coblong, Kota Bandung. HTM sama dengan Tahura Rp 15.000,00 (kalau tidak salah) karena waktu itu tidak diberi karcis dan ditambah parkir.
Alternatif: bagi yang berkendaraan umum bisa naik ojek atau jalan kaki dari Terminal Dago. Kalau yang membawa roda empat tidak ada tempat parkir.

Kalau google kasih 4 dari 5 bintang, saya beri 3.5. Coba berkunjung ke sini juga, yuk!




*Foto-foto dokumen pribadi kecuali yang diberi keterangan



Selasa, 02 Januari 2018

Menaklukan 18 Kelokan - Curug Cimahi



Kabut mulai turun. Air sisa curahan hujan terkadang masih jatuh mengenai kulit. Hawa dingin mulai merambah. Suhu di kawasan dengan ketinggian sekitar 1.000 mdpl ini berkisar 20 derajat celcius.

Mungkin beginilah nasib, piknik ke air terjun di musim penghujan. Berangkatnya sudah ba'da duhur pula. Sebelum sampai lokasi kami pun sudah sempat ngeyup di warung soto yang ternyata sedang dibereskan dagangannya di Jalan Cihanjuang atas. Padahal niatnya berteduh sembari makan jadi engga bengong-bengong amat kan? untunglah, si penjual sotonya baik, kami diberi diperbolehkan meminjam kursi.

Bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya, pastilah sudah familiar dengan Curug Cimahi. Terjunan air ini berasal dari Sungai Cimahi yang berhulu di Gunung Burangrang. Meski letaknya di pinggir jalan raya Kolonel Masturi kawasan hutannya sangat asri. Begitu masuk, kita berasa di rimba dengan alunan nada alami. Tongeret dan sahut-sahutan monyet liar. Dedaunan bergesek terembus angin. Tak terdengar bising kendaraan. Yang ada hanyalah simfoni alam. Ibarat surga yang tersembunyi dibawah jalan raya.




Air yang jatuh dari ketinggian kurang lebih 87 meter ini seakan memanggil-manggil agar kaki cepat-cepat melangkah. Namun, untuk sampai ke bawah kita harus melewati 18 kelokan dengan 587 titian tangga. Tidak usah buru-buru, ada dua dek tempat kita bisa rehat memandang eksotisnya kawasan air terjun yang dikelola Perhutani Bandung Utara ini. Ada juga beberapa spot gasibu untuk meluruskan kaki sejenak. Jangan lupa, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Agar tubuh kita fresh kembali. Udara di sini masih murni tak seperti di perkotaan yang sudah mulai kotor akibat karbonmonoksida, sisa pembakaran kendaraan bermotor. Belum bagi yang tinggal di kawasan pabrik dengan polutan yang tak bisa dihindari.

Fakta: Nama curug diambil dari nama sungai. Lokasi Curug Cimahi berada dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat bukan Kota Cimahi


Mengenal Alam Sejak Dini



Tujuan utama kami ke sini adalah sengaja membawa piknik duo krucil yang masih balita agar lebih dekat dengan alam. Di Kota Bandung, sudah langka dijumpai spot-spot natural kecuali di pinggirannya. Layaknya membawa mereka ke Toko Buku Gramedia, mereka buncah dengan buku-buku anak, di sini adalah surga mengembangkan kemampuan naturalist. Kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan.

"Suara apa itu, Ibu? Ini apa, Ibu? Ada pohon apa itu, Ibu? Itu apa, Ibu?..." Rasa ingin tahu Namiya langsung keluar. 

Meskipun yang kecil belum bisa berbicara seperti kakaknya, Oziel tak kalah penasarannya, ia langsung merosot minta turun dari gendongan. Ingin melalui anak tangga sendiri. Tangannya mulai menyentuh ini itu, sesuatu yang jarang sekali ditemui di tempat tinggal kami di kota.

Peran ayah dan ibu di sini sangat penting. Sabar menjawab setiap pertanyaan termasuk mengenalkan ini itu terhadap mereka. Sehingga seimbanglah pengetahuan mereka. Bahwa alam juga bagian kita. Termasuk menunjukkan kabut yang mulai menutupi kawasan ini.




Sayangnya, waktu kami datang air berwarna kecoklatan. Mungkin karena habis hujan atau bisa juga di daerah hulunya tengah hujan. Saya pun takut bercebur. Hanya puas memandang dari atas kelokan terakhir. Sampai akhirnya, suami memastikan tidak apa-apa turun ke bawah dan saya bersama duo krucil mengikut, memandang air terjun dari jembatan kayu. Saya tetap tidak mau turun ke aliran air. Padahal menggoda sekali bermain air di sini. Apalagi cipratan air seolah mencolek-colek. Namun, saya terlalu parno dengan berita banjir bandang akhir-akhir ini. Bagaimana kalau tiba-tiba, saat kami tengah asyik, air bah datang. Di lokasi lembah seperti ini kecil kemungkinan untuk selamat. Apalagi ada dua nyawa amanah yang harus saya jaga. Akhirnya, saya hanya terus menatap ke atas asal air terjun.

Gerimis turun, saya makin panik dan mengajak suami segera ke atas. Apalagi ada papan pengumuman kalau hujan deras, selain tidak boleh turun ke sungai, pengunjung juga harus segera naik.

Pelajarannya, jangan ke air terjun saat musim penghujan. Terlalu banyak khawatir malah jadi tidak bisa menikmati waktu bersama alam yang langka.

Meski tidak bisa berbasuh di sungai, di tebing-tebing pinggir anak tangga banyak mata air yang menetes lho. Ini mengobati saya yang tidak menyentuh air di bawah. Airnya jernih dan sensasi dinginnya seakan menembus pori-pori. Saya dan anak-anak, riang menyiramkan air ke beberapa anggota badan.




Sampai di atas ada dua bapak-bapak yang sedang bersiul-siul aneh. Tak lama datanglah segerombolan monyet liar. Sang bapak yang lebih tua disebut pawang oleh yang lebih muda sedang melemparkan sisa-sisa makanan dan buah-buahan. Kera makan dengan lahap. Bahkan ada monyet kecil masih merah dalam dekapan indungnya. Oziel yang gemes bisa cekikikan sendiri.

Tips: Yang perlu dipersiapkan kalau ke sini adalah fisik. 

Hujan turun. Sembari menunggu reda, kami makan di warung sekitar parkiran. Ada prasmanan dan menu terlezat di pegungan, mie instan dan secangkir kopi instan. Diiringi gemericik hujan, mie instan ini sangat yummy.

Hari hujan membuat air terjun tutup lebih awal. Kata pemilik warung, biasanya bisa sampai jam delapan. Malam-malam ngapain ke curug, gelap? Eitss jangan salah karena inovasi Perhutani, air terjun diberi lampu warna-warni sehingga nyala lampunya berefek seperti pelangi. Karenanya, curug ini dikenal juga dengan rainbow waterfall atau air terjun pelangi. Jadi fungsi dek dan bangku-bangku dari karet tadi bisa untuk menikmati ini saat malam hari. Seru!

Nah, menurut ibu warung memang ada pelangi aslinya. Hasil pembiasan cahaya matahari tapi itu jarang terjadi karena sifatnya alam, jadi ya tidak bisa ditebak. Karena masih kepikiran banjir, saya pun bertanya apakah pernah banjir besar."Airnya segitu-gitu saja, tidak pernah banjir yang besar. Yang rawan itu longsor," katanya.







Mau kesana?

Kalau dengan kendaraan pribadi, tinggal minta bantuan google maps. Cukup mengetikkan Curug Cimahi akan segera keluar petunjuk arahnya. Curug Cimahi, lokasinya pun persis di pinggir Jalan Raya Kolonel Masturi Cihanjuang Rahayu, Parongpong, Cisarua Bandung Barat, sehingga tidak akan susah menemukannya. Kalau menggunakan kendaraan umum bisa menggunakan angkot jurusan Ledeng - Parongpong. kemudian ganti dengan rute Parongpong - Padalarang turun di terminal Cisarua. Kunci naik angkot jangan malu bertanya daripada salah jalur. Harga tiket masuk saat kami berkunjung Desember 2017 yaitu Rp 15 ribu/orang dewasa. Parkir sepeda motor Rp 3.000,00.




*Foto-foto dokumen pribadi @chidarma













Kain “Jarik”, Gendongan Andalan Saat Walking

Sudah nyoba gendongan dari model kangguru, oshin, ini itu yg moderen pake ceklap ceklip pokoke wuakeh, tetep aja nggak ada yg bisa ng...